Post
Trauma Syndrom Disorder (PTSD)
Beberapa
sumber mendefinisikan Post Traumatic Stress Disorder sebagai berikut: Post
Traumatic Stress Disorder adalah gangguan kecemasan yang dapat terbentuk dari
sebuah peristiwa atau pengalaman yang menakutkan/mengerikan, sulit dan tidak
menyenangkan dimana terdapat penganiayaan fisik atau perasaan terancam
(American Psychological Association, 2004).
Post-traumatic stress disorder (PTSD) adalah sebuah gangguan yang dapat
terbentuk dari peristiwa traumatik yang mengancam keselamatan anda atau membuat
anda merasa tidak berdaya (Smith & Segal, 2008).
Faktor-faktor
penyebab PTSD
-
Kejadian traumatic
-
Trauma masa kecil
-
Trauma fisik
-
Prosedur medikasi
-
Jenis kepribadian introvert
-
Lingkungan kerja
-
Tingkat spiritual
-
Tingkat pendidikan
-
Pengalaman
Faktor presipitasi :
Bencana alam, perang, kehilangan,
kekerasan .
Faktor Psikodinamika:
Ego klien telah mengalami trauma
berat, sering dirasakan sebagai ancaman terhadap integritas fisik atau konsep
diri. Hal ini menyebabkan ansietas berat yang tidak dapat dikendalikan oleh ego
dan dimanifestasikan dalam bentuk perilaku simtomatik. Karena ego menjadi
rentan, superego dapat menghukum dan menyebabkan individu merasa bersalah
terhadap kejadian traumatic tersebut. Id dapat menjadi dominan, menyebabkan
perilaku impulsive tidak terkendali.
Biologis
Dari hasil penelitin, abnormalitas
dalam penyimpanan, pelepasan, dan eliminasi katekolamin yang memengaruhi fungsi
otak di daerah lokus seruleus, amigdala dan hipokampus. Hipersensitivitas pada
lokus seruleus dapat menyebabkan seseorang tidak dapat belajar. Amigdala
sebagai penyimpan memori. Hipokampus menimbulkan koheren naratif serta lokasi
waktu dan ruang. Hiperaktivitas dalam amigdala dapat menghambat otak membuat
hubungan perasaan dalam memorinya sehingga menyebabkan memori disimpan dalam
bentuk mimpi buruk, kilas balik, dan gejala-gejala fisik lain.
Dinamika Keluarga
Tipe pendidikan formal, kehidupan
keluarga, dan gaya hidup merupakan perkiraan yang signifikan terjadinya PTSD.
Keberhasilan dalam pendidikan yang di bawah rata-rata, perilaku orang tua yang
negatif, dan kemiskinan orang tua merupakan prediktor perkembangan PTSD.
Faktor
psikologi
Classical dan operant conditioning dapat diimplikasikan pada perkembangan
terjadinya PTSD. Stresor yang ekstrem secara tipikalmenimbulkan emosi yang
negatif ( sedih, marah, takut) sebagai bagian dari gejala hiperarousal akibat
aktivasi dari sistem saraf simpatis ( fight or flight response).
Classical conditioning terjadi pada saat seseorang
yang mengalami peristiwa trauma kembali ke tempat terjadinya trauma maka akan
timbul reaksi psikologi yang tidak disadari dan merupakan respon refleks yang
spesifik. Misalnya, pada anak yang mengalami kecelakaan mobil yang serius akan
timbulrespon berupa ketakutan, berkeringat, takkardi setiap kali dia melewatitempat
kejadian tersebut.
Operant conditioning terjadi sebagai hasil dari
pengalaman kejadian trauma yang dialaminya sehingga didapatkan tingkah laku
yang tidak disukai dan tidak akan diulangi. Misalnya, pada anak yang mengalami
kecelakaan mobil maka iaakan berusaha untuk menghindari berada di dalam mobil.
Modelling : merupakan mekanisme psikologikal lainnya
yang turut berperan dalam perkembangan gejala PTSD. Respon emosional orangtua
terhadap pengalaman traumatik anak merupakan prediksi terhadap keparahan gejala
PTSD anak.
Faktor
sosial
Dukungan sosial yang tidak adekuat dari keluarga dan
lingkungan meningkatkan risiko perkembangan PTSD setelah anak mengalami
kejadian traumatik.
Gejala
PTSD
Tiga
kategori utama gejala yang terjadi pada PTSD adalah:
·
Pertama, mengalami kembali kejadian
traumatic (re-eksperience). Seseorang kerap teringat akan kejadian tersebut dan
mengalami mimpi buruk tentang hal itu. Gejala
flashback (merasa seolah-olah peristiwa tersebut terulang kembali),
nightmares (mimpi buruk tentang kejadian-kejadian yang membuatnya sedih),
reaksi emosional dan fisik yang berlebihan karena dipicu oleh kenangan akan
peristiwa yang menyedihkan.
·
Kedua, penghindaran (avoidance) stimulus
yang diasosiasikan dengan kejadian terkait atau mati rasa dalam responsivitas.
Orang yang bersangkutan berusaha menghindari untuk berpikir tentang trauma atau
menghadapi stimulus yang akan mengingatkan akan kejadian tersebut, dapat
terjadi amnesia terhadap kejadian tersebut. Mati rasa adalah menurunnya
ketertarikan pada orang lain, suatu rasa keterpisahan dan ketidak mampuan untuk
merasakan berbagai emosi positif. Gejala ini menunjukkan adanya penghindaran
aktivitas, tempat, berpikir, merasakan, atau percakapan yang berhubungan dengan
trauma. Selain itu, juga kehilangan minat terhadaps emua hal, perasaan terasing
dari orang lain, dan emosi yang dangkal.
·
Ketiga, gejala ketegangan
(hyperarousal). Gejala ini meliputi sulit tidur atau mempertahankannya, sulit
berkonsentrasi, wasapada berlebihan, respon terkejut yang berlebihan, termasuk
meningkatnya reaktivitas fisiologis
Fase-fase
PTSD
Fase-fase keadaan mental pasca
bencana:
a. Fase
kritis
Fase dimana terjadi gangguan stres
pasca akut (dini/cepat) yangmana terjadi selama kira-kira kurang dari sebulan
setelah menghadap bencana. Pada fase ini kebanyakan orang akan mengalami
gejala-gejala depresi seperti keinginan bunuh diri, perasaan sedih mendalam,
susah tidur,dan dapat juga menimbulkan berbagai gejala psikotik.
b. Fase
setelah kritis
Fase dimana telah terjadi
penerimaan akan keadaan yang dialami dan penstabilan kejiwaan, umumnya terjadi
setelah 1 bulan hingga tahunan setelah bencana, pada fase ini telah tertanam
suatu mindset yang menjadi suatu
phobia/trauma akan suatu bencana tersebut (PTSD) sehingga bila bencana tersebut
terulang lagi, orang akan memasuki fase ini dengan cepat dibandingkan
pengalaman terdahulunya.
c. Fase
stressor
Fase dimana terjadi perubahan
kepribadian yang berkepanjangan (dapat berlangsung seumur hidup) akibat dari
suatu bencana dimana terdapat dogma “semua telah berubah”.
Periode bencana menurut Rice
(1999):
a.
Periode impak Ã
hanya berlangsung selama kejadian bencana. Pada periode ini, korban selalu
diliputi perasaan tidak percaya dengan apa yang dialami. Periode ini selalu
berlangsung singkat.
b.
Periode penyejukan suasana (Recoil
period) Ã
berlangsung beberapa hari selepas kejadian. Pada periode ini, tampak bahwa para
korban mulai merasakan diri mereka lapar dan mencari bekal makanan untuk
dimakan. Mereka tidak memahami bagaimana mereka harus memulihkan keadaan dan
mengganti harta benda mereka yang hilang.
c.
Periode post traumatic (Recovery
period) Ã
berlangsung lama, bahkan sepanjang hayat. Periode ini berlangsung tatkala
korban bencana berjuan untuk melupakan pengalaman yang terjadi berupa tekanan,
gangguan fisiologi, dan psikologi akibat bencana yang mereka alami.
Patofisiologi
PTSD
Beberapa
penelitian menunjukan bahwa bagian otak amigdala adalah kunci dari PTSD,
ditunjukan bahwa pengalaman yang traumatik dapat merangsang bagian tersebut
untuk menimbulkan rasa takut yang dalam terhadap kondisi-kondisi yangmungkin
menyebabkan kembalinya pengalaman traumatic tersebut. Amigdala dan berbagai
struktur lainnya seperti hipotalamus, bagian abu-abu otak dan
nucleus,mengaktifkan neurotransmitter dan endokrin untuk menghasilkan
hormone-hormon yang berperan dari berbagai gejala PTSD. Bagian otak depan
(frontal) sebenarnya berfungsi untuk menghambat aktivasi rangkaian ini,
walaupun begitu pada penelitianterhadap orang-orang yang mengalami PTSD, bagian
ini mengalami kesulitan untuk menghambat aktivasi system amigdala.
Amigdala
menerima informasi berupa rangsangan eksternal. Hal ini kemudian memicu respon
emosional termasuk “fight, flight, or freezing" dan perubahan dalam hormon
stress dan katekolamin. Hipokampus dan korteks prefrontal medial (gambar 1)
mempengaruhi respon amigdala dalam menentukan respon ketakutan akhir. Ketika kita dalam keadaan takut dan terancam,
tubuh kita mengaktifkan respon fight or
flight . Dalam reaksi ini tubuh mengeluarkan adrenalin yang menyebabkan
peningkatan tekanan darah,denyut jantung, glikogenolisis. Setelah ancaman
bahaya itu mulai hilang makatubuh akan memulai proses inaktivasi respon stress
dan proses ini menyebabkan pelepasan hormon kortisol. Jika tubuh tidak
melepaskan kortisol yang cukup untuk menginaktivasi reaksi stress maka
kemungkinan kita masih akan merasakan efek stress dari adrenalin.
Pada korban
trauma yang berkembang menjadi PTSD seringkali memiliki hormon stimulasi
(katekolamin) yang lebih tinggi bahkan pada saat kondisi normal. Hal ini
mengakibatkan tubuh terus berespon seakan bahaya itu masih ada. Setelah sebulan
dalam kondisi ini, di mana hormon stres meningkat pada akhirnya menyebabkan
terjadinya perubahan fisik. Beberapa studi telah menemukan konsentrasi kortisol
rendah orang dengan post-traumatic stress disorder dan berlawanan menanggapi
penindasan deksametason tes daripada yang terlihat dengan depresi berat.
Dampak
PTSD
Gangguan stress pascatraumatik ternyata dapat
mengakibatkan sejumlah gangguan fisik, kognitif,emosi,behavior (perilaku),dan
sosial.
Gejala
gangguan fisik:
-
pusing,
-
gangguan pencernaan,
-
sesak napas,
-
tidak bisa tidur,
-
kehilangan selera makan,
-
impotensi, dan sejenisnya.
Gangguan
kognitif:
-
gangguan pikiran seperti disorientasi,
-
mengingkari kenyataan,
-
linglung,
-
melamun berkepanjangan,
-
lupa,
-
terus menerus dibayangi ingatan yang tak
diinginkan,
-
tidak fokus dan tidak konsentrasi.
-
tidak mampu menganalisa dan merencanakan
hal-hal yang sederhana,
-
tidak mampu mengambil keputusan.
Gangguan
emosi :
-
halusinasi dan depresi (suatu keadaan
yang menekan, berbahaya, dan memerlukan perawatan aktif yang dini),
-
mimpi buruk,
-
marah,
-
merasa bersalah,
-
malu,
-
kesedihan yang berlarut-larut,
-
kecemasan dan ketakutan.
Gangguan
perilaku :
-
menurunnya aktivitas fisik, seperti
gerakan tubuh yang minimal. Contoh, duduk berjam-jam dan perilaku repetitif
(berulang-ulang).
Gangguan
sosial:
-
memisahkan diri dari lingkungan,
-
menyepi,
-
agresif,
-
prasangka,
-
konflik dengan lingkungan,
-
merasa ditolak atau sebaliknya sangat
dominan.
Pandangan
hukum tentang PTSD
1.
UU No 24 Tahun 2007 tentang
Penanggulangan Bencana yang berisi hak dan kewajiban pemerintah dan masyarakat
saat bencana maupun pasca bencana. Salah satu pasalnya yaitu pasal 26
menyatakan bahwa setiap orang berhak:
a. Mendapat
perlindungan sosial dan rasa aman bagi kelompok masyarakat yang rentan bencana.
b. Mendapat
pendidikan, pelatihan, ketrampilan dalam penyelenggaraan penaggulangan bencana.
2.
Peraturan Pemerintah RI No 21 Tahun 2008
pasal 2 yang berisi tentang penanggulangan bencana memberikan perlindungan
kepada masyarakat terhadap dampak bencana.
Kasus
PTSD yang sering di angkat dipengadilan adalah Rape Trauma Syndrom (RPS) atau
sindrom trauma perkosaan. Ini bisa menjadi bukti di pengadilan apabila memiliki
komponen seperti berikut ini:
a. Kualifikasi
ahli, yaitu adanya kesaksian dari seorang dokter, psikiater, psikolog, pekerja
sosial.
b. Rehabilitas
keilmuan
c. Kegunaan
d. Netralitas
Kriteria
diagnosis untuk PTSD
·
Kriteria untuk diagnosis menentukan
faktor tentang persepsi korban dari trauma serta durasi dan dampak terkait
gejala
·
Sebelum diagnosis PTSD dapat dibuat,
gejala harus bertahan setidaknya satu bulan dan signifikan harus mengganggu
aktivitas normal
·
Pada orang yang telah selamat dari
peristiwa traumatis, sindrom kecemasan yang berlangsung selama kurang dari satu
bulan disebut "gangguan stres akut", ini kondisi membutuhkan tiga
atau lebih disosiatif gejala selain gejala persisten terkait dengan PTSD.
Gejala
·
PTSD yang berlangsung kurang dari tiga
bulan menunjukkan kondisi akut.
Diagnostik ditegakkan berdasar Kriteria
Diagnostik Gangguan Stress Akut berdasar Diagnostic and Statistical Manual of
Mental Disorders IV-Revisi atau DSM IV-R,
dapat memperlihatkan kondisi traumatik seseorang.
A. Pertama,
orang yang telah terpapar dengan suatu kejadian traumatic dimana kedua dari
ciri berikut ini dapat ditemukan, yaitu:
-
orang yang mengalami, menyaksikan atau
dihadapkan dengan kejadian yang berupa ancaman kematian atau kematian yang
sesungguhnya atau cidera yang serius atau ancaman kepada integritas fisik diri
sendiri atau orang lain,
-
respon berupa rasa takut yang kuat dan rasa
tidak berdaya atau selalu dihantui perasaan takut yang berlebihan. CATATAN:
Pada anak-anak, ini bukan oleh perilaku tidak teratur atau gelisah.
B. Peristiwa
traumatik yang terus-menerus muncul kembali
melalui satu (atau lebih) dari
cara berikut:
1. Teringat kembali akan kejadian trauma
menyedihkan yang dialaminyadan bersifat mengganggu (bisa berupa gambaran,
pikiran, persepsi)
2. Mimpi
buruk yang berulang tentang peristiwa trauma yang dialaminya(yang mencemaskan)
3. Mengalami
kilas balik trauma (merasa seakan kejadian trauma yangdialaminya terjadi
kembali, hal ini bisa terjadi karena ilusi,haluinasinya)
4. Kecemasan
psikologis dan fisik bersamaan dengan hal yangmengingatkan terhadap kejadian
trauma (kenangan akan peristiwatrauma)
C. Menghindari
secara persisten stimulus yang berkaitan dengan trauma danmematikan perasaan/
tidak berespon terhadap suatu hal (sebelum traumamasih berespon). Gejala ini
meliputi tiga atau lebih hal di bawah ini:
1. Kemampuan
untuk menghindari pikiran, perasaan, percakapan yang berhubungan dengan
kejadian trauma
2. Kemampuan
menghindari aktivitas, tempat, orang yang dapatmembangkitkan kembali kenangan
akan trauma yang dialaminya
3. Ketidakmampuan
mengingat aspek penting dari peristiwa trauma yangdialaminya
4. Ketertarikan
dan minat untuk berpartisipasi dalam peristiwa penting berkurang
5. Merasa
terasing dari orang di sekitarnya
6. Terbatasnya
rentang emosi ( contoh: tidak dapa merasakan cinta)
7. Perasaan
bahwa masa depannya suram
D. Gejala
hiperarousal/ sangat sensitif yang persisten meliputi dua atau lebihgejala di
bawah ini:
1. Sulit
untuk memulai tidur/ sulit mempeertahankannya
2. Sulit
berkonsentrasi
3. Mudah
kesal dan meledak-ledak emosinya
4. Hypervigilance(kewaspadaan
yang berlebihan)
5. Reaksi
kaget yang berlebihan
E. Durasi
dari gangguan ( gejala di kriteria B, C, D) lebih dari sebulan
F. Gangguan/
gejala di atas ini menyebabkan kecemasan dan gangguanfungsional dalam
berhubungan sosial, pekerjaan, dan fungsi pentinglainnya.
Selain itu, secara spesifikasi diagnosis
PTSD dapat diidentifikasi sebagai:(1) akut, bila gejala berlangsung satu sampai
tiga bulan (2) kronis, bilagejala berlangsung lebih dari tiga buan (3) Awal
gejala / onset yangtertunda bila gejala dimula sedikitnya enam bulan setelah kejadiantraumatik/stressor.
Menurut International
Classification of Diseases 10 (ICD-X) kriteria diagnosis PTSD sebagai
berikut:
A. Pasien
harus pernah terpapar pada suatu peristiwa atau situasiyang menimbulkan stress
(sebentar/lama) yang sifatnya malapetakaatau sangat mengancam sehingga mungkin
akan menyebabkan stres pada hampir semua orang.
B. Terus
menerus mengingat atau menghayati lagi penyebab stressdalam bentuk kilas balik
yang mengganggu, kenangan yang jelassekali atau mimpi yang berulang, atau
mengalami keemasan ketikamenghadapi keadaan yang mirip atau berkaitan dengan
penyebab stress
C. Pasien
harus memperlihatkan suatu penghindaran nyata darikeadaan yang mirip atau
berhubugan dengan penyebab stress yangtidak ada sebelumnya
D. Salah satu dari hal berikut harus terjadi:
-
tidak mampu mengingat sebagian atau
seluruhnya dari beberapaaspek penting selama masa terpapar pada penyebab stres
-
gejala yang terus menerus dari adanya
peningkatan kepekaaan psikologis dan sensasi (tidak ada sebelum terpapar dengan
penyebab stres), ditunjukkan oleh dua dari berikut ini: (1) sulituntuk memulai
tidur dan mempertahankannya, (2) mudah marahatau amarah yang meledak-ledak, (3)
sulit berkonsentrasi, (4)kewaspadaan yang sangat tinggi, dan (5) reaksi kaget
yag berlebiha
E. Kriteria
B, C, dan D semuanya terjadi dalam kurun waktu enam bulan setelah peristiwa
traumatik terjadi.
Pedoman
diagnostik gangguan stress pasca trauma menurut PPDGJ III(F 43.1) yaitu:
A. Diagnosis
baru ditegakkan bilamana gannguan ini timbul dalam kurunwaktu enam bulan
setelah kejadiian traumatik berat (masa laten yang berkisar antara beberapa
minggu sampai beberapa bulan, jarang sampaimelampaui enam bulan). Kemungkinan
diagnosis masih dapat ditegakkanapabila tertundanya waktu mulai saat kejadian
dan onset gangguanmelebihi waktu enam bulan, asal saja manifestasi klinisnya
adalah khasdan tidak didapat alternatif kategori ganngguan lainnya.
B. Sebagai
bukti tambahan selain trauma, harus didapatkan bayang-bayangatau mimpi-mimpi
dari kejadian traumatik tersebut secara berulang-ulang kembali (flashbacks)
C. Gangguan
otonomik, gangguan afek, dan kelainan tingkah laku semuanyadapat mewarnai
diagnosis tetapi tidak khas
D. Suatu
“ sequelae” menahun yang terjadi lambat setelah stress yang luar biasa, misalnya saja beberapa puluh tahun
setelah trauma, diklasifikasidalam kategori F62.0 (perubahan kepribadian yang
berlangsung lamasetelah mengalami katastrofa).
Kriteria diagnosis PTSD dibuat untuk
orang dewasa dan tidak sepenuhnya semua kriteria di atas dapat dipergunakan
bagi anak-anak. Anak-anak memilki keterbatasan dalam kemampuan verbalnya dan
memiliki cara yang berbeda dalam bereaksi terhadap stress. Hal ini menunjukkan
bahwa anak-anak mungkin tidak memenuhi kriteria DSM-IV-TR secara penuh meskipun
secara jelas anak tersebut memilki gangguan psikiatri yang analog dengan PTSD
pada dewasa. Biasanaya anak seringkali tidak memilki tiga tanda dari mati rasa
dan menarik diri seperti pada orang dewasa karena kemampuan verbal untuk
mengekspresikan perasaannya masih kurang.
Scheeringa et al (1995) merekomendasikan
perubahan kriteria PTSD bagi young
children. Perubahan kriteria ini tidak mengharuskan anak dapat melaporkan
ketakutannya sebagai respon terhadap trauma. Kriteria diagnosis yang digunakan
bagi young child yaitu:
a. Anak
tersebut setidaknya harus mengalami kembali salah satu tipe pengulangan ingatan
kejadian traumatik di bawah ini:
·
Menunjukkan perilaku yang mencontoh
trauma yang terjadi seperti, bermain tembak-tembakan atau mengulang adegan
kekerasan sendiriatau bersama teman. Perilaku ini diulang-ulang tanpa variasi
yang berarti
·
Teringat kembali akan peristiwa trauma (
bisa secara tiba-tiba)
·
Mengalami mimpi buruk/ mengerikan tanpa
dapat mendeskripsikan isi mimpi tersebut
·
Mengalami stres saat terpapar dengan kejadian
yang mengingatkanakan trauma yang dialami
b. Perubahan
kriteria ini juga hanya memerlukan satu dari gejala mati rasasecara emosional
dan perilaku menghindar di bawah ini (dewasa perlutiga):
·
Menarik diri dari pergaulan sosial
·
Jarang mau bermain
·
Mengalami kemunduran perkembangan
terutama perkembangan bahasa dan toilet training
·
Rentang afek yang terbatas (perasaan dan
pikiran jadi datar, tumpul)
c. Memerlukan
satu dari gejala hiperarousal di bawah ini:
·
Sulit memulai tidur (tidak berhubungan
dengan takut mimpi buruk ataupun kegelapan)
·
Terbangun waktu tidur malam hari (bukan
karena mimpi buruk)
·
Penurunan konsentrasi
·
Respon terkejut yang berlebihan
·
Sangat sensitif dan memiliki reaksi
intens terhadap rangsangan yangmengingatkannya pada peristiwa traumatik
d. Ditandai
oleh salah satu dari gejala ketakutan dan sikap bermusuhan di bawah ini:
·
Takut gelap
·
Takut pergi ke toilet sendirian
·
Takut terhadap suatu hal baru yang tidak
secara jelas berkaitandengan trauma
·
Takut terpisah dan takut ditinggal
sendirian
Kriteria
pasien yang mengalami PTSD dan harus dihospitalisasi
-
Ketika gejala PTSD sudah mengganggu ADL
-
Penghayatan yang berulang dari trauma
-
Kurang sosialisasi
Penatalaksanaan
untuk PTSD
v Farmakologi
A. Selective
seotonin reuptak inhibitors (SSRIs)
SSRIs merupakan obat line
pertama dan satu-satunya obat yang direkomendasikan Food and Drug
Administration (FDA) dalam mengatasi gejala cemas, depresi, perilaku
menghindar, dan pikiran yang intrusif (mengganggu) pada penderita PTSD. Obat
ini secara primer mempengaruhi neurotransmitter serotonin yang penting untuk
regulasi mood, anxietas, appetite, tidur, dan fungsi tubuh lainnya. Obat ini
meningkatkan jumah serotonin dengan cara menginhibisi reuptake serotonin
diotak. Penelitian menunjukkan bahwa manfaat maksimal dari SSRI’s tergantug
pada dosis yang cukup dan durasi pengobatan.
Obat golongan SSRIs antara lain:
·
Fluoxetine (Prozac) Ã
20mg-60mg sehari.
·
Sertraline (Zoloft) Ã
50 mg-200mg sehari
·
Citalopram (Celexa) Ã
20mg-60 mg sehari
·
Paroxetine (Paxil) Ã
20mg-60mg sehari
Diantara obat-obat diatas yang
direkomendasikan FDA untuk first line medikasi PTSD hanya sertraline dan
paroxetine.
B.
Mood stabilizers Ã
Golongan ini dapat membantu mengatasi gejala arousal yang meninggi dangejala
impulsif.
-
Dosis Carbamazepine (Tegretol):6-12
tahun: 100mg/hari peroral untuk initial lalu dapat dinaikkan hingga100mg/hari,
untuk dosis maintenance; 20-30 mg/kg/hari>12 tahun: samapai kadar di plasma
8-12mcg/ml
-
Dosis valporic acid (Depakene,
depakote): 10-15 mg/kg/hari untuk dosisinitial dan kemudian dapat ditingkatkan
5-10mg/kg/hari
C.
Beta adrenergic blocking agents Ã
Obat yang digunakan golongan ini yakni, Propanolol (Inderal). Obat inidapat mengatasi gejala hiperarousal. Dosis
untuk anak-anak: 2,5 mg/kgBB/hari.
D.
Antidepresan
Bekerja
melui komninasi neurotransmitter lain atau melaui mekanisme berbeda untuk
mengubah neurotransmisi serotonin.
E.
Atipikal Antipsikotik
F.
Bertindak sebagai dopaninergik dan
serotoninergik. Obat ini digunakan pada pasien dengan psikotik sebagai
komorbidnya. Atipikal Antipsikotik tidak
dianjurkan untuk monoterapi pada PTSD.
G.
Benzodiazepin
Bekerja
langsung pada system GABA yang menghasilkan efek menenangkan pada system saraf.
v Non Farmakologi
A. Terapi perilaku kognitif atau CBT.
Ada beberapa bagian untuk CBT, termasuk:
o
Exposure
therapy. Terapi ini membantu orang menghadapi dan
mengendalikan ketakutan mereka. Karena menghadapkan mereka ke trauma yang
mereka alami dengan cara yang aman. Menggunakan mental imagery, menulis, atau
kunjungan ke tempat di mana peristiwa itu terjadi. Terapis menggunakan alat ini
untuk membantu orang dengan PTSD mengatasi perasaan mereka. Terapi ini dapat
dilakukan dengan 2 cara:
a. Exposure
in the imagination
Terapis bertanya kepada penderita untuk
mengulang-ulang cerita secara detail kenangan-kenangan traumatis sampai mereka
tidak mengalami hambatan untuk menceritakannya.
b. Exposure
in reality
Terapis membantu untuk menghadapi
situasi yang sekarang aman, tetapi ingin dihindarkan karena menyebabkan
ketakutan yang sangat kuat. Pengulangan situasi yang disertai penyadaran yang
berulang-ulang akan membantu kita menyadari bahwa situasi lampau yang
menakutkan tidak lagi berbahaya dan kita dapat mengatasinya
o
Kognitif
restrukturisasi. Terapi ini membantu orang memahami
kenangan buruk. Kadang-kadang orang mengingat kejadian berbeda dari bagaimana
hal itu terjadi. Mereka mungkin merasa bersalah atau malu tentang apa yang
bukan kesalahan mereka. Terapis membantu orang dengan PTSD melihat apa yang
terjadi dengan cara yang realistis.
o
Stress
inoculation training. Terapi ini mencoba untuk mengurangi
gejala PTSD dengan mengajar orang bagaimana untuk mengurangi kecemasan. Seperti
restrukturisasi kognitif, pengobatan ini membantu orang melihat kenangan mereka
dengan cara yang sehat.
B. Cognitive therapy,
terapis membantu untuk merubah kepercayaan yang tidak rasional yang mengganggu
emosi dan mengganggu kegiatan -kegiatan kita. Misalnya seorang korban kejahatan
mungkin menyalahkan diri sendiri karena tidak hati -hati. Tujuan kognitif
terapi adalah mengidentifikasi pikiran-pikiran yang tidak rasional,
mengumpulkan bukti bahwa pikiran tersebut tidak rasional untuk melawan pikiran
tersebut yang kemudian mengadopsi pikiran yang lebih realistik untuk membantu
mencapai emosi yang lebih seimbang (Anonim, 2005b).
C. EMDR
(Eye Movement Desensitization and Reprocessing)
EMDR adalah sebuah pendekatan
psikoterapi yang bertumpu pada model pemrosesan informasi di dalam otak.
Jaringan memori dilihat sebagailandasan yang mendasari patologi sekaligus
kesehatan mental, karena jaringan-jaringan memori adalah dasar dari persepsi,
sikap dan perilakukita.Untuk memproses kembali informasi di dalam otak/jaringan
memori
D. Anxiety management,
terapis akan mengajarkan beberapa ketrampilan untuk membantu mengatasi gejala
PTSD dengan lebih baik melalui:
1) relaxation training,
yaitu belajar mengontrol ketakutan dan kecemasan secara sistematis dan
merelaksasikan kelompok otot -otot utama,
2) breathing retraining,
yaitu belajar bernafas dengan perut secara perlahan -lahan, santai dan
menghindari bernafas dengan tergesa-gesa yang menimbulkan perasaan tidak
nyaman, bahkan reaksi fisik yang tidak baik seperti jantung berdebar dan sakit
kepala,
3) positive thinking
dan self-talk, yaitu belajar untuk
menghilangkan pikiran negatif dan mengganti dengan pikiran positif ketika
menghadapi hal-hal yang membuat stress (stresor),
4) asser-tiveness training,
yaitu belajar bagaimana mengekspresikan harapan, opini dan emosi tanpa
menyalahkan atau menyakiti orang lain,
5) thought stopping,
yaitu belajar bagaimana mengalihkan pikiran ketika kita sedang memikirkan
hal-hal yang membuat kita stress (Anonim, 2005b).
E. Terapi bermain
(play therapy) mungkin berguna pada penyembuhan anak dengan PTSD. Terapi
bermain dipakai untuk menerapi anak dengan PTSD. Terapis memakai permainan
untuk memulai topik yang tidak dapat dimulai secara langsung. Hal ini dapat
membantu anak lebih merasa nyaman dalam berproses dengan pengalaman
traumatiknya (Anonim, 2005b).
F. Terapi debriefing
juga dapat digunakan untuk mengobati traumatik. Meskipun ada banyak kontroversi
tentang debriefing baik dalam literatur PTSD umum dan di dalam debriefing yang
dipimpin oleh bidan. Cochrane didalam systematic reviews-nya merekomendasi-kan
perlu untuk melakukan debriefing pada kasus korban -korban trauma (Rose et al,
2002). Mengenai debriefing oleh bidan, Small gagal menunjukkan secara jelas
manfaatnya (Small et al., 2000). Meski begitu, Boyce dan Condon
merekomendasikan bidan untuk melakukan debriefing pada semua wanita yang
berpotensi mengalami kejadian traumatik ketika melahirkan (Boyce & Condon,
2000).
G. Support group therapy
dan terapi bicara. Dalam support
group therapy seluruh peserta merupakan penderita PTSD yang mempunyai
pengalaman serupa (misalnya korban bencana tsunami, korban gempa bumi) dimana
dalam proses terapi mereka saling menceritakan tentang pengalaman traumatis
mereka, kemdian mereka saling memberi penguatan satu sama lain (Swalm, 2005).
Sementara itu dalam terapi bicara memperlihatkan bahwa dalam sejumlah studi
penelitian dapat membuktikan bahwa terapi saling berbagi cerita mengenai
trauma, mampu memperbaiki kondisi jiwa penderita. Dengan berbagi, bisa
memperingan beban pikiran dan kejiwaan yang dipendam. Bertukar cerita membuat
merasa senasib, bahkan merasa dirinya lebih baik dari orang lain. Kondisi ini
memicu seseorang untuk bangkit dari trauma yang diderita dan melawan kecemasan
(Anonim, 2005b).
H. Terapi psikodinamik
berfokus pada membantu orang tersebut memeriksa nilai-nilai pribadi dan konflik
emosional yang disebabkan oleh peristiwa traumatis.
I. Terapi keluarga
mungkin berguna karena perilaku orang dengan PTSD dapat memiliki mempengaruhi
anggota keluarga lainnya.
Pengelolaan
kesehatan jiwa pasca bncana dibagi 2 tahap:
1. Tahap
I Ã
tahap kegawatdaruratan akut. Hal yang harus dilakukan pada tahap ini adalah
mengelola keluhan psikiatrik yang mendesak.
2. Tahap
II Ã
Tahap rekonsolidasi dilakukan setelah 4 minggun pasca bencana. Kegiatan berupa
pendidikan psikologis, dukungan psikologis,, dan lain-lain.
Prognosis
PTSD
PTSD dapat
terjadi pada semua usia, bahkan di masa kecil. Pada penderita yang menerima
perawatan, durasi rata-rata gejala adalah sekitar 36 bulan. Pada pasien yang
tidak menerima pengobatan, Durasi rata-rata gejala meningkat ke 64 months.
Lebih dari sepertiga pasien yang
memiliki PTSD pernah sepenuhnya recover. Faktor yang terkait dengan prognosis
yang baik termasuk keterlibatan cepat pengobatan dini, dukungan sosial yang
berkelanjutan, menghindari retraumatization, positif premorbid fungsi, dan
tidak adanya gangguan kejiwaan lainnya atau substansi abuse.
Komorbiditas Ã
PTSD terkait dengan tingkat peningkatan gangguan afektif, gangguan kecemasan,
dan penyalahgunaan obat. Data dari National Comorbidity Survey menunjukkan
bahwa setidaknya tambahan satu gangguan kejiwaan hadir dalam 88,3 persen pria
dan 79,0 persen wanita yang memiliki riwayat PTSD. Selain itu,59 persen pria
dan 44 persen wanita yang telah PTSD memenuhi kriteria untuk tiga atau lebih
kejiwaan diagnosis. Wanita yang telah PTSD 4,1 kali lebih mungkin untuk
mengembangkan depresi mayor dan 4,5 kali
lebih mungkin mengembangkan mania sebagai perempuan yang tidak memiliki
PTSD.Men yang memiliki PTSD 6,9 kali lebih mungkin mengembangkan depresi dan
10,4 kali lebih mungkin untuk mengembangkan mania sebagai laki-laki yang tidak
memiliki PTSD. Lebih dari satu setengah pria dengan PTSD juga memiliki masalah
alkohol komorbid, dan signifikan sebagian pria dan wanita yang memiliki PTSD
memiliki penggunaan zat terlarang-komorbid problem. Pada pasien yang memiliki
PTSD, fobia cenderung lebih besar dari yang umum gangguan kecemasan atau
gangguan panik, yang risiko hampir semua gangguan kecemasan meningkat nyata
dalam . Tingkat percobaan bunuh diri pada pasien yang memiliki PTSD diperkirakan
20 percent.
Asuhan
keperawatan yang sesuai untuk kasus PTSD
v Pengkajian
a. Aktivitas
atau istirahat
-
gangguan tidur
-
mimpi buruk
-
hipersomnia
-
mudah letih
-
keletihan kronis
b. Sirkulasi
-
denyut jantung meningkat
-
palpitasi
-
tekanan darah meningkat
-
terasa panas
c. Integritas
ego
-
derajat ansietas bervariasi dengan gejal
yang berlangsung berhari-hari, berminggu-minggu, berbulan-bulan
-
gangguan stres akut terjadi 2 hari – 4
minggu dalam 4 minggu peristiwa traumatik
-
PTSD akut gejala kurang dari 3 bulan
-
PTSD kronik gejala lebih dari 3 bulan
-
Melambat
awitan sedikitnya 6 bulan setelah peristiwa traumatik
-
kesulitan mencari bantuan atau
menggerakkan sumber personal (menceritakan pengalaman pada anggota
keluarga/teman)
-
perasaan bersalah, tidak berdaya,
isolasi
-
perasaan malu terhadap ketidakberdayaan
sendiri; demoralisasi
-
perasaan tentang masa depan yang suram
atau memendek
d. Neurosensori
-
gangguan kognitif sulit berkonsentrasi
-
kewaspadaan tinggi
-
ketakutan berlebihan
-
ingatan persisten atau berbicara terus
tentang suatu kejadian
-
pengendalian keinginan yang buruk dengan
ledakan perilaku yang agresif tidak dapat diprediksi atau memunculkan perasaan
(marah, dendam,benci, sakit hati)
-
perubahan perilaku (murung, pesimistik,
berpikir yang menyedihkan, iritabel), tidak mempunyai kepercayaan diri, afek
depresi, merasa tidak nyata, kehidupan bisnis tidak dipedulikan lagi
-
ketegangan otot, gemetar, kegelisahan
motorik
-
Nyeri atau ketidaknyamanan
e. Pernapasan
-
frekuensi pernapasan meningkat
-
dispneu
f. Keamanan
-
marah yang meledak-ledak
-
perilaku kekerasan terhadap lingkungan
atau individu lain
-
gagasan bunuh diri
g. Seksualitas
-
hilangnya gairah
-
impotensi
-
ketidakmampuan mencapai orgasme
h. Interaksi
sosial
-
menghindari oarang/tempat/kegiatan yang
menimbulakan ingatan tentang trauma, penurunan responsif, mati rasa secara
psikis, pemisahan emosi/mengasingkan diri dari orang lain
-
hilangnya minat secara nyata pada
kegiatan yang signifikan, termasuk pekerjaan
-
pembatasan rentang afek, tidak ada
respon emosi
v Diagnosa,
NOC, dan NIC
Sindrom
Pasca Trauma
Definisi :Respon maladaptive
yang terus berlangsung terhadap kejadian traumatic dan melelahkan.
Batasan
Karakteristik :Kilas balik,
ketakutan, malu, ansietas, kompulsif, menghindar, kurang konsentrasi, mimpi
buruk, panic attact, dll
NOC :
-
Koping: Tindakan untuk mengelola
stressor yang membebani sumber-sumber individu,.
-
Pemulihan dari penganiayaan: seksual:
penyembuhan setelah mengalami penganiayaan seksual/ eksploitasi.
-
Pengendalian impuls: kemampuan untuk
menahan diri dari perilaku impulsive.
NIC
-
Konseling : penggunaan proses bantuan
interaktif yang memfokuskan pada kebutuhan, masalah, atau perasaan pasien
dengan orang yang berarti bagi pasien untuk meningkatkan atau mendukung koping,
pnyelesaian masalah dan hubungan interpersonal.
Aktivitas keperawatan:
o
BHSP
o
Tunjukkan empati, kehangatan dan
kesejatian
o
Gunakan teknik refleksi dan klarifikasi
untuk memfasilitasi pengungkapan perasaan.
o
Hindari membuat keputusan pada saat
pasien berada dalam keadaan stress.